Kejang Demam

12.12 Edit This 0 Comments »
BAB I
PENDAHULUAN

Kejang bukan suatu penyakit, tetapi gejala dari suatu atau beberapa penyakit, yang merupakan manifestasi dari lepasnya muatan listrik yang berlebihan di sel-sel neuron otak oleh karena terganggu fungsinya. Kejang demam pada anak merupakan kelainan neurologik yang paling sering dijumpai pada bayi dan anak. Kejang demam adalah tipe kejang yang paling sering terjadi pada anak. Walaupun telah dijelaskan oleh bangsa Yunani , baru pada abad ini kejang demam dibedakan dengan epilepsy. 1,2
Kejang merupakan salah satu darurat medik yang harus segera diatasi.2 Kejang didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak paroksismal yang dapat dilihat sebagai kehilangan kesadaran, aktivitas motorik abnormal, kelainan perilaku, gangguan sensoris, atau disfungsi autonom.1,2
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada suhu badan yang tinggi. Suhu badan yang tinggi ini disebabkan oleh kelainan ekstrakranial (ekstrakranial : ekstra = di luar, kranium : rongga tengkorak. Ekstrakranial : di luar rongga tengkorak).1
Serangan kejang demam pada anak yang satu dengan yang lain tidak sama, tergantung dari nilai ambang kejang masing-masing. Setiap serangan kejang pada anak harus mendapat penanganan yang cepat dan tepat apalagi pada kasus kejang yang berlangsung lama dan berulang. Karena keterlambatan dan kesalahan prosedur akan mengakibatkan gejala sisa pada anak atau bahkan menyebabkan kematian.2
Jumlah penderita kejang demam diperkirakan mencapai 2-4% dari jumlah penduduk di AS, Amerika Selatan, dan Eropa Barat. Namun di Asia dilaporkan penderitanya lebih tinggi. Sekitar 20% diantara jumlah penderita mengalami kejang demam kompleks yang harus ditangani secara lebih teliti. Bila dilihat jenis kelamin penderita, kejang demam sedikit lebih banyak menyerang anak laki-laki. Penderita pada umumnya mempunyai riwayat keluarga (orang tua atau saudara kandung) penderita kejang demam.2

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal lebih dari 380c) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan – 5 tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain, misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam.

2.2. Epidemiologi
A. Frekuensi
· Amerika Serikat
Antara 2% sampai 5% anak mengalami kejang demam sebelum usianya yang ke 5. Sekitar 1/3 dari mereka paling tidak mengalami 1 kali rekurensi.
· Internasional
Kejadian kejang demam seperti di atas serupa di Eropa. Kejadian di Negara lain berkisar antara 5 sampai 10% di India, 8.8% di Jepang, 14% di Guam, 0.35% di Hong Kong, dan 0.5-1.5% di China.

B. Mortalitas/Morbiditas
· Kejang demam biasanya tidak berbahaya.
· Anak dengan kejang demam memiliki resiko epilepsy sedikit lebih tinggi dibandingkan yang tidak (2% : 1%).
· Faktor resiko untuk epilepsy di tahun-tahun berikutnya meliputi kejang demam kompleks, riwayat epilepsy atau kelainan neurologi dalam keluarga, dan hambatan pertumbuhan. Pasien dengan 2 faktor resiko tersebut mempunyai kemungkinan 10% mendapatkan kejang demam.

C. Ras
Kejang demam terjadi pada semua ras.

D. Jenis kelamin
Beberapa penelitian menunjukkan kejadian lebih tinggi pada pria.

E. Usia
Kejang demam terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun.

2.3. Etiologi
Hingga kini etiologi kejang demam belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan oleh :
· infeksi saluran pernafasan atas,
· otitis media,
· pneumonia,
· gastroenteritis, dan
· infeksi saluran kemih.
Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi. Kadang-kadang yang tidak begitu tinggi dapat menyebabkan kejang.3
Penyebab lain kejang disertai demam adalah penggunaan obat-obat tertentu seperti difenhidramin, antidepresan trisiklik, amfetamin, kokain, dan dehidrasi yang mengakibatkan gangguan keseimbangan air-elektrolit.4

2.4. Faktor Resiko
Sedangkan faktor yang mempengaruhi kejang demam adalah :11
1. Umur
a. 3% anak berumur di bawah 5 tahun pernah mengalami kejang demam.
b. Insiden tertinggi terjadi pada usia 2 tahun dan menurun setelah 4 tahun, jarang terjadi pada anak di bawah usia 6 bulan atau lebih dari 5 tahun.
c. Serangan pertama biasanya terjadi dalam 2 tahun pertama dan kemudian menurun dengan bertambahnya umur.

2. Jenis kelamin
Kejang demam lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan 2 : 1. Hal ini mungkin disebabkan oleh maturasi serebral yang lebih cepat pada perempuan dibandingkan pada laki-laki.

3. Suhu badan
Kenaikan suhu tubuh adalah syarat mutlak terjadinya kejang demam. Tinggi suhu tubuh pada saat timbul serangan merupakan nilai ambang kejang. Ambang kejang berbeda-beda untuk setiap anak, berkisar antara 38,3°C – 41,4°C. Adanya perbedaan ambang kejang ini menerangkan mengapa pada seorang anak baru timbul kejang setelah suhu tubuhnya meningkat sangat tinggi sedangkan pada anak yang lain kejang sudah timbul walaupun suhu meningkat tidak terlalu tinggi. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam akan lebih sering pada anak dengan nilai ambang kejang yang rendah.

4. Faktor keturunan
Faktor keturunan memegang peranan penting untuk terjadinya kejang demam. Beberapa penulis mendapatkan bahwa 25 – 50% anak yang mengalami kejang demam memiliki anggota keluarga ( orang tua, saudara kandung ) yang pernah mengalami kejang demam sekurang-kurangnya sekali.

Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam.6 Kejang demam cenderung timbul dalam 24 jam pertama pada waktu sakit dengan demam atau pada waktu demam tinggi.7

Faktor –faktor lain diantaranya:
· riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung,
· perkembangan terlambat,
· problem pada masa neonatus,
· anak dalam perawatan khusus, dan
· kadar natrium rendah.

Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali rekurensi atau lebih, dan kira-kira 9% anak mengalami 3 kali rekurensi atau lebih. Risiko rekurensi meningkat dengan usia dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi.

Sekitar 1/3 anak dengan kejang demam pertamanya dapat mengalami kejang rekuren.
o Faktor resiko untuk kejang demam rekuren meliputi berikut ini:
§ Usia muda saat kejang demam pertama
§ Suhu yang rendah saat kejang pertama
§ Riwayat kejang demam dalam keluarga
§ Durasi yang cepat antara onset demam dan timbulnya kejang
o Pasien dengan 4 faktor resiko ini memiliki lebih dari 70% kemungkinan rekuren. Pasien tanpa faktor resiko tersebut memiliki kurang dari 20% kemungkinan rekuren.
2.5. Patofisiologi
Kelangsungan hidup sel otak memerlukan energi yang didapat dari metabolisme glukosa melalui suatu proses oksidasi. Dimana dalam proses oksidasi tersebut diperlukan oksigen yang disediakan dengan perantaraan paru-paru. Oksigen dari paru-paru ini diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskular.11,12,13
Suatu sel, khususnya sel otak atau neuron dalam hal ini, dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari membran permukaan dalam dan membran permukaan luar. Membran permukaan dalam bersifat lipoid, sedangkan membran permukaan luar bersifat ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dengan mudah dilalui ion Kalium ( K+ ) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium ( Na+ ) dan elektrolit lainnya, kecuali oleh ion Klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar neuron, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran tadi dapat berubah oleh adanya :

1. perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler
2. rangsangan yang datang mendadak seperti rangsangan mekanis, kimiawi, atau aliran listrik dari sekitarnya
3. perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan11,12,13
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15% dan meningkatnya kebutuhan oksigen sebesar 20%. Pada seorang anak usia 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh sirkulasi tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi kenaikan suhu tubuh pada seorang anak dapat mengakibatkan adanya perubahan keseimbangan membran neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi ion Kalium dan ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepasnya muatan listrik ini demikian besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangga dengan perantaraan neurotransmiter sehingga terjadilah kejang. Tiap anak memiliki ambang kejang yang berbeda, dan tergantung dari tinggi rendahnya nilai ambang kejang, seorang anak menerita kejang pada kenaikan suhu tubuh tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, serangan kejang telah terjadi pada suhu 38°C, sedangkan pada anak dengan ambang kejang tinggi, serangan kejang baru terjadi pada suhu 40°C atau lebih. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam akan lebih sering pada anak dengan ambang kejang yang rendah. Sehingga dalam penanggulangan anak dengan ambang kejang demikian perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa anak tersebut akan mendapat serangan. 11,12,13
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa. Tetapi pada kejang lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apneu, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat yang disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian tadi adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan neuron. 11,12,13 Kerusakan anatomi dan fisiologi yang bersifat menetap bisa terjadi di daerah medial lobus temporalis setelah ada serangan kejang yang berlangsung lama. Hal ini diduga kuat sebagai faktor yang bertanggung jawab terhadap terjadinya epilepsi.
Berdasarakan referensi lain, mekanisme kejang yang tepat belum diketahui, tampak ada beberapa faktor fisiologis yang menyebabkan perkembangan kejang. Untuk memulai kejang, harus ada kelompok neuron yang mampu menimbulkan ledakan discharge (rabas) yang berarti dan sistem hambatan GABAergik. Perjalanan discharge (rabas) kejang akhirnya tergantung pada eksitasi sinaps glumaterik. Bukti baru-baru ini menunjukkan bahwa eksitasi neurotransmiter asam amino (glutamat, aspartat) dapat memainkan peran dalam menghasilkan eksistasi neuron dengan bekerja pada reseptor sel tertentu. Diketahui bahwa kejang dapat berasal dari daerah kematian neuron dan bahwa kejang dapat berasal dari daerah kematian neuron dan bahwa daerah otak ini dapat meningkatkan perkembangan sinaps hipereksitabel baru yang dapat menimbulkan kejang. Misalnya, lesi pada lobus temporalis (termasuk glioma tumbuh lambat hematoma, gliosis, dan malformasi arteriovenosus) menyebabkan kejang. Dan bila jaringan abnormal diambil secara bedah. Kejang mungkin berhenti. Lebih lanjut, konvulsi dapat ditimbulkan pada binatang percobaan dengan fenomena membangkitkan. Pada model ini, stimulasi otak subkonvulsif berulang (misal, amigdala) akhirnya menyebabkan konvulsi berulang (misal, amigdala) akhirnya menyebabkan terjadinya epilepsi pada manusia pasca cedera otak. Pada manusia telah diduga bahwa aktivitas kejang berulang-ulang dari lobus temporalis normal kontralateral dengan pemindahan stimulus melalui korpus kallosum.
Kejang adalah lebih lazim pada bayi dan binatang percobaan imatur. Kejang tertentu pada populasi pediatri adalah spesifik umur (misal spasme infantil) , yang menunjukkan bahwa otak yang kurang berkembang lebih rentan rerhadap kejang spesifik daripada anak yang lebih tua atau orang dewasa. Faktor genetik menyebabkan setidaknya 20% dari semua kasus epilepsi. Penggunaan analisis kaitan, lokasi kromosom beberapa epilepsi. Penggunaan analisis kaitan, lokasi kromosom beberapa epilepsi famili telah dikenali, termasuk konvulsi neonatus benigna (20q), epilepsi mioklonik juvenil (6p), dan epilepsi mioklonik progresif (21q22.3), Adalah amat mungkin bahwa dalam waktu dekat dasar molekular epilepsi tambahan, seperti epilepsi rolandik benigna dan kejang-kejang linglung, akan dikenali. Juga diketahui bahwa substansia abu-abu memegang peran integral pada terjadinya kejang menyeluruh. Aktivitas kejang elektrografi menyebar dalam substansia abu-abu, menyebabkan peningkatan pada ambilan 2 deoksiglukosa pada binatang dewasa, tetapi ada sedikit atau tidak ada aktivitas metabolik dalam substansia abu-abu bila binatang imatur mengalami kejang. Telah diduga bahwa imaturitas fungsional substansia abu-abu dapat memainkan peran pada peningkatan substansia abu-abu dapat memainkan peran pada peningkatan kerentanan kejang otot imatur. Lagipula, neuron pars retikulata substansia abu-abu (substantia nigra pars reticulata (SNR) sensitif-asam gama aminobutirat (GABA) memainkan peran pada pencegahan kejang. Agaknya bahwa saluran aliran keluar substansia abu-abu mengatur dan memodulasi penyebaran kejang tetapi tidak menyebabkan mulainya kejang. Penelitian eksitabilitas neuron, mekanisme hambatan tambahan, pencairan mekanisme non-sipnapsis perambatan kejang dan kelainan seseptor GABA.5

2.6. Klasifikasi
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak dengan umur berkisar antara 6 bulan sampai 5 tahun, insidens tertinggi pada umur 18 bulan.
Kejang demam dibagi atas :

1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure).5,6
· Berlangsung singkat (< 15 menit) dan umumnya akan berhenti sendiri.
· Kejang berbentuk umum (bangkitan kejang tonik dan atau klonik), tanpa gerakan fokal.
· Kejang hanya sekali / tidak berulang dalam 24 jam.
· Kejang demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang demam.
2. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)5,6
· Berlangsung lama (> 15 menit).
· Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial.
· Kejang berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.

Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8 % bangkitan kejang demam.
Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didauhului kejang parsial.
Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, diantara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% diantara anak yang mengalami kejang demam.

2.7. Manifestasi Klinik
Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya berkembang bila suhu tubuh (dalam) mencapai 30oC atau lebih. Kejang khas menyeluruh, tonik-tonik lama beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan periode mengantuk singkat pascakejang. Kejang demam yang menetap lebih lama 15 menit menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik dan memerlukan pengamatan menyeluruh. Ketika demam tidak lagi ada pada saat anak sampai di rumah sakit, tanggung jawab dokter yang paling penting adalah menentukan penyebab demam dan mengesampingkan meningitis. Jika ada keragu-raguan berkenaan dengan kemungkinan meningitis, pungsi lumbal dengan pemeriksaan cairan serebrospinalis (CSS) terindikasi. Infeksi virus saluran pernapasan atas, roseola dan otitis media akut adalah penyebab kejang demam yang paling sering.
Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti untuk sesaat anak tidak memberikan reaksi apapun, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa ada kelainan neurologi.
A. Anamnesis
v Adanya kejang, jenis kejang, lama kejang, suhu sebelum/saat kejang, frekuensi, interval, pasca kejang, penyebab kejang di luar SSP.
v Riwayat Kelahiran, perkembangan, kejang demam dalam keluarga, epilepsi dalam keluarga (kakak-adik, orang tua).
v Singkirkan dengan anamnesis penyebab kejang yang lainnya.

B. Pemeriksaan Fisik
· Kesadaran
· suhu tubuh
· tanda rangsang meningkat
· tanda peningkatan tekanan intracranial seperti: kesadaran menurun, muntah proyektil, fontanel anterior menonjol, papiledema tanda infeksi di luar SSP.
· Tanda ifeksi diluar SSP misalnya otitis media akut, tonsilitis, bronkitis, furunkulosis, dan lain-lain1

C. Pemeriksaan Nervi Kranialis
Umumnya tidak dijumpai adanya kelumpuhan nervi kranialis

2.8. Kriteria Diagnosis
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berusia 6 bulan - 5 tahun. Kejang disertai demam pada bayi <> 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain seperti infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang saat demam, tidak termasuk dalam kejang demam.

Ø Kejang didahului oleh demam
Ø Pasca kejang anak sadar kecuali kejang lebih dari 15 menit
Ø Pemeriksaan punksi lumbal normal

Pengamatan kejang tergantung pada banyak faktor, termasuk umur penderita, tipe dan frekuensi kejang, dan ada atau tidak adanya temuan neurologis dan gejala yang bersifat dasar. Pemeriksaan minimum untuk kejang tanpa demam pertama pada anak yang lainnya sehat meliputi glukosa puasa, kalsium, magnesium, elektrolit serum dan EEG. Peragaan discharge (rabas) paroksismal pada EEG selama kejang klinis adalah diagnostik epilepsi, tetapi kejang jarang terjadi dalam laboratorium EEG. EEG normal tidak mengesampingkan diagnosis epilepsi, karena perekaman antar-kejang normal pada sekitar 40% penderita. Prosedur aktivasi yang meliputi hiperventilasi, penutupan mata, stimulasi cahaya, dan bila terindikasi, penghentian tidur dan perempatan elektrode khusus (misal hantaran zigomatik), sangat meningkatkan hasil positif, discharge (rabas) kejang lebih mungkin direkam pada bayi dan anak daripada remaja atau dewasa.
Memonitor EEG lama dengan rekaman video aliran pendek dicadangkan pada penderita yang terkomplikasi dengan kejang lama dan tidak responsif. Monitor EEG ini memberikan metode yang tidak terhingga nilainya untuk perekaman kejadian kejang yang jarang diperoleh selama pemeriksaan EEG rutin. Tehnik ini sangat membantu dalam klasifikasi kejang karena ia dapat secara tepat menentukan lokasi dan frekuensi discharge (rabas) kejang saat perubahan perekaman pada tingkat yang sadar dan adanya tanda klinis. Penderita dengan kejang palsu dapat dengan mudah dibedakan dari kejang epilepsi sejati, dan tipe kejang (misal, kompleks parsial vs menyeluruh) dapat lebih dikenali dengan tepat, yang adalah penting pada pengamatan anak yang mungkin merupakan calon untuk pembedaan epilepsi.
Peran skenning CT atau MRI pada pengamatan kejang adalah kontroversial. Hasilnya pada penggunaan rutin tindakan ini pada penderita dengan kejang tanpa demam pertama dan pemeriksaan neurologis normal adalah dapat diabaikan. Pada pemeriksaan anak dengan gangguan kejang kronis, hasilnya adalah serupa. Meskipun sekitar 30% anak ini menunjukkan kelainan struktural (misal atrofi korteks setempat atau ventrikel dilatasi), hanya sedikit sekali manfaat dari intervensi aktif sebagai akibat dari skenning CT dengan demikian, skenning CT atau MRI harus dicadangkan untuk penderita yang pemeriksaannya neurologis abnormal. Kejang sebagian yang lama, tidak mempan dengan terapi antikonvulsan, defisit neurologis setempat, dan bukti adanya kenaikan tekanan intrakranial merupakan indikasi untuk pemeriksaan pencitraan saraf.
Pemeriksaan CSS terindikasi jika kejang berkemungkinan terkait dengan proses infeksi, perdarahan subaraknoid, atau gangguan demielinasi. Uji metabolik spesifik digambarkan pada seksi mengenai kejang neonatus dan status epileptikus.

2.9. Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan laboratorium
· Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain, misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam.
· Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya : darah perifer, elektrolit dan gula darah.
· Lumbal pungsi :
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%-6,7%.
Meningitis dapat menyertai kejang, walupun kejang biasanya bukan satu-satunya tanda meningitis.
Factor resiko meningitis pada pasien yang datang dengan kejang dan demam meliputi berikut ini:
Kunjungan ke dokter dalam 48 jam
Aktivitas kejang saat tiba di rumah sakit
Kejang fokal, penemuan fisik yang mencurigakan (seperti merah-merah pada kulit, petekie) sianosis, hipotensi
Pemeriksaan saraf yang abnormal
§ Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada :
- Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan
- Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
- Bayi > 18 bulan tidak rutin
§ Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.

B. Pencitraan
· Foto X-Ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-Scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti :
- Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
- Paresis Nervus VI
- Papiledema
· CT scan sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan kejang demam kompleks.

C. Tes lain (EEG)
· Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan.
· Pemeriksaan EEG dapat dilakukan pada kejang demam tak khas; misalnya pada anak usia > 6 tahun atau kejang demam fokal.
· EEG tidak diperlukan pascakejang demam sederhana karena rekamannya akan membuktikan bentuk Non-epileptik atau normal dan temuan tersebut tidak akan mengubah manajemen. EEG terindikasi untuk kejang demam atipik atau pada anak yang berisiko untuk berkembang epilepsi. Kejang demam atipik meliputi kejang yang menetap selama lebih dari 15 menit, berulang selama beberapa jam atau hari, dan kejang setempat. Sekitar 50% anak menderita kejang demam berulang dan sebagian kecil menderita kejang berulang berkali-kali. Faktor resiko untuk perkembangan epilepsi sebagai komplikasi kejang demam adalah riwayat epilepsi keluarga positif, kejang demam awal sebelum umur 9 bulan, kejang demam lama atau atipik, tanda perkembangan yang terlambat, dan pemeriksaan neurologis abnormal. Indidens epilepsi adalah sekitar 9% bila beberapa faktor risiko ada dibanding dengan insiden 1% pada anak yang menderita kejang demam dan tidak ada faktor resiko.

2.10. Diagnosis Banding
Penyebab lain kejang yang disertai demam harus disingkirkan, khususnya meningitis atau ensefalitis. Adanya sumber infeksi seperti otitis media tidak menyingkirkan meningitis, dan jika pasien telah mendapatkan antibiotika maka perlu pertimbangan pungsi lumbal.3
Adapun diagnosis banding kejang pada anak dan bayi adalah gemetar, apnea dan mioklonus nokturnal benigna.
Kejang pada anak merupakan suatu gejala dan bukan suatu penyakit. Gangguan primer mungkin terdapat intrakranium atau ekstrakranium. Berbagai penyakit intra serebral dan gangguan metabolik yang juga dapat menyebabkan kejang antara lain :

1. Kelainan intrakranium
- Meningitis
- Ensefalitis
- Infeksi subdural dan epidural
- Abses otak
- Trauma kepala
- Stroke dan AVM
- Cytomegalic inclusion disease

2. Gangguan metabolik
- Hipoglikemi
- Defisiensi vitamin B-6
- Gangguan elektrolit seperti hiponatremia, hipokalsemia, porfiria
- Keracunan

3. Epilepsi
Epilepsi adalah suatu gangguan serebral kronik dengan berbagai macam etiologi, yang dicirikan oleh timbulnya serangan paroksismal yang berkala, akibat lepas muatan listrik neuron-neuron serebral secara eksesif.

MENINGITIS6
Meningitis merupakan peradangan selaput otak yang disebabkan oleh bakteri patogen. Ditandai dengan peningkatan jumlah sel polimorfonuklear dalam cairan serebrospinal dan terbukti adanya bakteri penyebab infeksi dalam cairan serebrospinal.

Manifestasi klinis
a. Anamnesis
Meningitis bakterialis pada anak seringkali didahului infeksi pada saluran napas atas atau pencernaan seperti demam, batuk, pilek, diare dan muntah. Demam, nyeri kepala dan meningismus dengan atau tanpa penurunan kesadaran merupakan hal yang sangat sugestif meningitis. Banyak gejala meningitis berkaitan dengan usia; anak berusia kurang dari tiga tahun jarang mengeluh nyeri kepala.
b. Pemeriksaan fisik
· Gangguan kesadaran dapat berupa penurunan kesadaran atau iritabel
· Dapat juga ditemukan ubun-ubun yang menonjol, kaku kuduk atau tanda rangsang meningeal lain, kejang dan defisit neurologist fokal.
· Tanda rangsang meningeal mungkin tidal ditemukan pada anak kurang dari satu tahun.
Kriteria diagnosis
è Diagnosis ditegakkan dengan manifetasi klinis dan pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan penunjang
· Darah perifer lengkap, gula darah, elektrolit darah, biakan darah.
· Pungsi lumbal : jumlah sel 100-10.000/µl, dengan hitung jenis sel polimorfonuklear, protein 200-500mg/dl, glukosa < 40mg/dl, pewarnaan gram, biakan dan uji resistensi, identifikasi antigen (aglutinasi latex)
· Pada kasus berat pungsi lumbal harus ditunda (dengan pemberian antibiotika empiris, penundaan 2-3 hari tidak mengubah niulai diagnostik kecuali untuk identifikasi kuman
· Pemeriksaan CT atau MRI kepala (pada kasus berat)
· Pemeriksaan eletroensefaligrafi bila ada kejang
ENSEFALITIS6
Ensefalitis ialah infeksi jaringan otak oleh berbagai macam mikroorganisme, misalnya bakteri, ptozoa, cacing, spichaeta, atau virus. Penyebab yang tersering dan terpenting adalah virus. Pada banyak pasien sering terjadi keterlibatan leptomeningeal (meningoensefalitis), sedangkan ensefalomielitis menunjukkan keterlibatan medulla spinalis. Manifestasi klinis bervariasi mulai dari demam tidak tinggi disertai sakit kepala, sampai keadaan berat, koma, kejang dan kematian. Awitan ensefalitis dapat secara tiba-tiba atau gradual. Komplikasi yang dapat terjadi termasuk kenaikan tekanan intrakranial, edema otak dan syndrome of inappropriate antidiuretic hormone (SIADH) secretion. Ensefalitis dapat menyebabkan gejala sisa neurologis seperti kejang/ epilepsi, tuli, atau buta.

Manifestasi klinis
· Gejala khas berupa suhu naik mendadak, dapat sampai hiperpireksi, nyeri kapala, muntah dan perubahan tingkah laku
· Kedaran menurun
· Kejang umum dan/atau fokal atau hanya ’twitching’ saja. Pada kejang fokal dicurigai penyebab virus herpes simpleks
· Gejala serebral lainnya dapat berupa ataksis, paresis, paralisis, afasia dan sebagainya.
· Gerakan involunter (bila terkena ganglia basalis)
Pemeriksaan laboratorium
· Pemeriksaan LCS, biasanya jernih dengans el normal, atau sedikit meningkat 50-500 per mm3, hitung jenis didominasi sel limfosit.
· Banyak pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan namun jarang bersifat diagnostik.
· Darah tepi lengkap, dapat menunjukkan polimorfonuklear ringan atau leukositosis mononuklear.
· Pemeriksaan cairan serebrospinal : biasanya cairan jernih, jumlah sel normal aqtau sedikit meningkta terutama limfosiy, sedikit peningkatan protein, kadar gula normal atau sedikit menurun.
· Biakan darah.
· Elektrolit lengkap.
· Pemeriksaan serologik darah.
· MRI/CT scan kepala biasanya hanya memperlihatkan edema otak baik umum maupun fokal.
· EEG biasanya menunjukkan gambaran abnormal berupa aktivitas gelombang lambat umum.

2.11. Penatalaksanaan
Ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu
(1) pengobatan fase akut ;
(2) mencari dan mengobati penyebab ; dan
(3) pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam.

1. Pengobatan fase akut
Penatalaksanaan saat kejang :
Sering kali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang, yang perlu diperhatikan adalah ABC (Airway, Breathing,Circulation). Perhatikan juga keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernapasan dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air hangat dan pemberian antipiretik.
Obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan Intravena (IV). Dosis diazepam IV 0,3-0,5 mg/kgbb/kali dengan kecepatan 1-2 mg/menit dalam waktu 3-5 menit dengan dosis maks 20 mg.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atu dirumah adalah diazepam rektal (level II-2, level II-3, rekomendasi B). Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg dengan berat diatas 10 kg. dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun dan dosis 7,5 mg diatas 3 tahun.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum terhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Dirumah sakit dapat diberikan diazepam IV dengan dosis 0,3 -0,5 mg/kg.
Bila kejang tetap belum berhenti berikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgbb IV perlahan-lahan 1 mg/kgbb/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin kejang tidak berhenti juga maka pasien harus dirawat diruang intensif. Setelah pemberian fenitoin, harus dilakukan pembilasan dengan NaCl fisiologis karena fenitoin bersifat basa dan dapat menyebabkan iritasi vena.
Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor resikonya.

Pemberian Antipiretik :
Pemberian antipiretik tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan obat ini mengurangi resiko terjadinya kejang demam (level I, rekomendasi D), namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan (level III, rekomendasi B). Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan dalam 4 kali pemberian per hari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen adalah 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari. Asam asetilsalisilat tidak dianjurkan karena kadang dapat menyebabkan sindrom Reye pada anak kurang dari 18 bulan.

Pemberian Antikonvulsan :
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam menurunkan risiko berulang kejang pada 30%-60% kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/ kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5oC (level I, rekomendasi A)
Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam (level II, rekomendasi E)

Pemberian obat rumat :
Pemberian obat rumat hanya diberikan dengan indikasi berikut:
· Kejang lama >15 menit
· Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retatdasi mental, hidrosefalus.
· Kejang fokal
· Pengobatan rumatan dipertimbangkan bila:
o Kejang berulang 2 X atau lebih dalam 24 jam
o Kejang demam 4 X atau lebih pertahun
Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit merupakan indikasi pengobatan rumat. Kelaian neurologis tidak nyata misalkan keterlambatan perkembangan ringan bukan indikasi pengobatan rumat. Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus organik.

Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat :
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan risiko berulang kejang (level I). berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek (rekomendasi D).
Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Dosis asam valproat pada anak anak adalah 15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan dosis fenobarbital 3-4mg/kg per hari dalam 1-2 dosis.

Lama Pengobatan Rumat :
Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian diberhentikan secara bertahap selama 1-2 tahun.

2. Mencari dan mengobati penyebab.
Pemeriksaan LCS dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai sebagai meningitis, misalnya bila ada gejala meningitis atau bila kejang demam berlangsung lama.

3. Pengobatan profilaksis
Ada 2 cara profilaksis, yaitu :
(1) profilaksis intermiten saat demam dan
(2) profilaksis terus-menerus dengan antikonvulsan setiap hari
Untuk profilaksis intermiten diberikan diazepam secara oral dengan dosis 0,3-0,5mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis saat pasien demam. Diazepam dapat pula diberikan secara intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg (BB<10kg)>10kg) setiap pasien menunjukan suhu >38,5oc. Efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk dan hipotonia.
Profilaksis terus-menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tapi dapat mencegah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Digunakan fenobarbital 4-5 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis atau obat lain seperti asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgbb/hari. Antikonvulsan profilaksis terus-menerus diberikan selama 1-2 tahun setalah kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan.
Profilaksis terus-menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria (termasuk poin 1 atau 2) yaitu :
1. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau perkembangan (misalnya serebral palsi atau mikrosefal)
2. Kejang demam lebih dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainan neurologis sementara atau menetap
3. Ada riwayat kejang tanpa demam pada orang tua atau saudara kandung.
4. Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur <12 bulan atau terjadi kejang multipel dalam satu episode demam.
Bila hanya memenuhi 1 kriteria saja dan ingin memberikan pengobatan jangka panjang, maka berikan profilaksis intermiten yaitu pada waktu anak demam dengan diazepam oral atau rektal tiap 8 jam disamping antipiretik.

VAKSINASI :
Sejauh ini tidak ada kontraindikasi untuk melakukan vaksinasi terhadap anak yang mengalami kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat jarang. Angka kejadian pasca vaksinasi DPT asalah 6-9 kasus per 100.000 anak yang divaksinasi sedangakan setelah vaksinasi MMR 25-34 per 100.000. dianjurkan untuk memberikan diazepam oral atau MMR. Beberapa dokter maka merekomendasikan parasetamol padasaat vaksinasi hingga 3 hari kemudian.

2.12. Komplikasi10
Komplikasi yang dapat terjadi pada anak dengan kejang demam antara lain:18
o sewaktu terjadi serangan kejang demam :
§ trauma akibat jatuh atau terhantuk objek sekitar
§ mengigit tangan orang lain
§ aspirasi cairan ke dalam paru yang dapat menimbulkan pneumonia
o efek samping obat antikonvulsan yang digunakan seperti hiperaktivitas, iritabilitas, letargi, rash, dan penurunan intelegensia
o komplikasi meningitis sebagai etiologi kejang demam
o kejang berulang tanpa disertai demam

2.13. Prognosis3,6,13
Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis :
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal. Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan.
1. KematianDengan penanganan kejang yang cepat dan tepat, prognosa biasanya baik, tidak sampai terjadi kematian.Dalam penelitian ditemukan angka kematian KDS 0,46 % s/d 0,74 %.
2. Terulangnya KejangKemungkinan terjadinya ulangan kejang kurang lebih 25 s/d 50 % pada 6 bulan pertama dari serangan pertama.
3. EpilepsiAngka kejadian Epilepsi ditemukan 2,9 % dari KDS dan 97 % dari Epilepsi yang diprovokasi oleh demam. Resiko menjadi Epilepsi yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita KDS tergantung kepada faktor :
- riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga
- kelainan dalam perkembangan atau kelainan sebelum anak menderita KDS
- kejang berlangsung lama atau kejang fokal.
Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor di atas, maka kemungkinan mengalami serangan kejang tanpa demam adalah 13 %, dibanding bila hanya didapat satu atau tidak sama sekali faktor di atas.
4. HemiparesisBiasanya terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama (berlangsung lebih dari setengah jam) baik kejang yang bersifat umum maupun kejang fokal. Kejang fokal yang terjadi sesuai dengan kelumpuhannya. Mula-mula kelumpuhan bersifat flacid, sesudah 2 minggu timbul keadaan spastisitas. Diperkirakan + 0,2 % KDS mengalami hemiparese sesudah kejang lama.
5. Retardasi Mental
Ditemuan dari 431 penderita dengan KDS tidak mengalami kelainan IQ, sedang kejang demam pada anak yang sebelumnya mengalami gangguan perkembangan atau kelainan neurologik ditemukan IQ yang lebih rendah. Apabila kejang demam diikuti dengan terulangnya kejang tanpa demam, kemungkinan menjadi retardasi mental adalah 5x lebih besar.

Kemungkinan berulangnya kejang demam :
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko berulangnya kejang demam adalah :
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga
2. Usia < 12 bulan
3. Suhu rendah saat kejang demam
4. Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama.

Faktor Resiko terjadinya epilepsi :
Faktor resiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Faktor resiko menjadi epilepsi adalah :
1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama.
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung.
Masing-masing faktor risiko meningkatkan risiko epilepsi sampai 4%-­ 6%; kombinasi faktor risiko tersebut meningkatkan risiko epilepsi menjadi 10%­-49%. Risiko epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat/profilaksis pada kejang demam.

2.14. Edukasi pada Orang Tua
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini dapat dikurangi dengan cara antara lain:
1. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik
2. Memberitahukan cara penanganan kejang
3. Memberi informasi tentang risiko kejang berulang
4. Pemberian obat pencegahan memang efektif, tetapi harus diingat risiko efek samping obat

Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang :
1. Tetap tenang dan tidak panik
2. Kendorkan pakaian yang ketat, terutama sekitar leher
3. Jika tidak sadar, posisikan anak telentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan atau lendir di mulut dan/atau hidung. Walaupun ada risiko lidah tergigit, jangan masukkan apapun ke dalam mulut.
4. Ukur suhu tubuh, catat lama dan bentuk/sifat kejang
5. Tetap bersama anak selama kejang
6. Berikan diazepam per rektal. Jangan diberikan jika kejang telah berhenti.
7. Bawa ke dokter atau rumah sakit jika kejang berlangsung 5 menit.

2.15. Pemantauan6
· Tumbuh kembang. Walaupun secara umum benign, tapi sangat mencemaskan orang tua, akibat kejadian berulangnya tinggi, meningkatkan kejadian epilepsy dan dapat merusak jaringan otak.
· Pasien kejang demam dirujuk atau dirawat dirumah sakit apabila :
o Kejang demam kompleks
o Hiperpireksia
o Kejang demam pertama
o Usia dibawah 6 bulan
o Dijumpai kelainan neurologis




Bagan penatalaksanaan kejang demam pada anak :
BAB III
PENUTUP

Kejang demam adalah kejang yang terjadi saat demam (suhu rektal diatas 380c) tanpa adanya infeksi SSP atau gangguan elektrolit akut, terjadi pada anak diatas umur 1 bulan, dan tidak ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.4
Klasifikasi dari kejang demam :
1. Kejang demam sederhana
2. Kejang demam kompleks. 3,4,5
Penatalaksanaan yang perlu dikerjakan yaitu :
1. Pengobatan fase akut
2. Mencari dan mengobati penyebab
3. Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam
Untuk prognosis kejang demam, prognosisnya baik dan tidak menyebabkan kematian jika ditanggulangi dengan tepat dan cepat.3 Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal.

SNA pada anak

12.11 Edit This 0 Comments »
BAB I
PENDAHULUAN

Glomerulonefritis merupakan berbagai kelainan yang menyerang sel-sel penyerang ginjal (sel glomerulus). Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal tahap akhir dan tingginya angka morbiditas baik pada anak maupun pada dewasa. Sebagian besar glomerulonefritis bersifat kronik dengan penyebab yang tidak jelas dan sebagian besar tampak bersifat imunologis. Glomerulonefritis menunjukkan kelainan yang terjadi pada glomerulus, bukan pada struktur jaringan ginjal yang lain seperti misalnya tubulus, jaringan interstitial maupun sistem vaskulernya.

Glomerulonefritis sering ditemukan pada anak berumur antara 3-7 tahun dan lebih sering mengenai anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2 : 1 dan jarang menyerang anak dibawah usia 3 tahun.

Gejala glomerulonefritis bisa berlangsung secara mendadak (akut) atau secara menahun (kronis) seringkali tidak diketahui karena tidak menimbulkan gejala. Gejalanya dapat berupa mual-mual, kurang darah (anemia), atau hipertensi. Gejala umum berupa sembab kelopak mata, kencing sedikit, dan berwarna merah, biasanya disertai hipertensi. Penyakit ini umumnya (sekitar 80%) sembuh spontan, 10% menjadi kronis, dan 10% berakibat fatal.

Glomerulonefritis merupakan suatu istilah yang dipakai untuk menjelaskan berbagai ragam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan inflamasi glomerulus yang disebabkan oleh suatu mekanisme imunologis. Sedangkan istilah akut (glomerulonefritis akut) mencerminkan adanya korelasi klinik selain menunjukkan adanya gambaran etiologi, patogenesis, perjalanan penyakit dan prognosis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Sindrom Nefritis Akut (SNA) adalah sekumpulan gejala-gejala yang timbul secara mendadak, terdiri atas hematuria, proteinuria, silinderuria (terutama silinder eritrosit), dengan atau tanpa disertai hipertensi, edema, gejala-gejala dari kongesti vaskuler atau gagal ginjal akut, sebagai akibat dari suatu proses peradangan yang ditimbulkan oleh reaksi imunologik pada ginjal yang secara spesifik mengenai glomeruli. Penyakit ini paling sering diakibatkan oleh glomerulonefritis akut pasca streptokokus, oleh karena itu istilah sindrom nefritis akut sering disamakan dengan glomerulonefritis akut.

Sindrom nefritis akut merupakan kelainan ginjal yang disebabkan oleh respon imun yang dipicu oleh inflamasi dan proliferasi jaringan glomerular, sehingga mengakibatkan kerusakan pada membran basal, mesangium, atau endotel kapiler.
Gambar 1. Struktur Anatomi dari Ginjal

Etiologi
1. Faktor Infeksi
a. Nefritis yang timbul setelah infeksi Streptococcus beta hemolyticus (Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus).
Sindroma nefritik akut bisa timbul setelah suatu infeksi oleh streptokokus, misalnya strep throat (radang tenggorokan). Kasus seperti ini disebut glomerulonefritis pasca streptokokus. Glomeruli mengalami kerusakan akibat penimbunan antigen dari gumpalan bakteri streptokokus yang mati dan antibodi yang menetralisirnya. Gumpalan ini membungkus selaput glomeruli dan mempengaruhi fungsinya. Nefritis timbul dalam waktu 1-6 minggu (rata-rata 2 minggu) setelah infeksi dan bakteri streptokokus telah mati, sehingga pemberian antibiotik akan efektif.

b. Nefritis yang berhubungan dengan infeksi sistemik lain : endokarditis bakterialis subakut dan Shunt Nephritis.
Penyebab post infeksi lainnya adalah virus dan parasit, penyakit ginjal dan sistemik, endokarditis, pneumonia. Bakteri : diplokokus, streptokokus, staphylokokus. Virus : Cytomegalovirus, coxsackievirus, Epstein-Barr virus, hepatitis B, rubella. Jamur dan parasit : Toxoplasma gondii, filariasis, dll.

2. Penyakit multisistemik, antara lain :
a. Lupus Eritematosus Sistemik
b. Purpura Henoch Schonlein (PHS)

3. Penyakit Ginjal Primer, antara lain :
a. Nefropati IgA


Patofisiologi

Glomerulonefritis akut didahului oleh infeksi ekstra renal terutama di traktus respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A tipe 12,4,16,25,dan 29. Hubungan antara glomerulonefritis akut dan infeksi streptococcus dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alasan timbulnya glomerulonefritis akut setelah infeksi skarlatina, diisolasinya kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A, dan meningkatnya titer anti- streptolisin pada serum penderita.

Antara infeksi bakteri dan timbulnya glomerulonefritis akut terdapat masa laten selama kurang 10 hari. Kuman streptococcus beta hemoliticus tipe 12 dan 25 lebih bersifat nefritogen daripada yang lain, tapi hal ini tidak diketahui sebabnya. Kemungkinan factor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan factor alergi mempengaruhi terjadinya glomerulonefritis akut setelah infeksi kuman streptococcus.
Patogenesis yang mendasari terjadinya GNAPS masih belum diketahui dengan pasti. Berdasarkan pemeriksaan imunofluorosensi ginjal, jelas kiranya bahwa GNAPS adalah suatu glomerulonefritis yang bermediakan imunologis. Pembentukan kompleks-imun in situ diduga sebagai mekanisme patogenesis glomerulonefritis pascastreptokokus.

Hipotesis lain yang sering disebut adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh streptokokus, merubah IgG menjadi autoantigenic. Akibatnya, terbentuk autoantibodi terhadap IgG yang telah berubah tersebut. Selanjutnya terbentuk komplek imun dalam sirkulasi darah yang kemudian mengendap di ginjal.

Streptokinase yang merupakan sekret protein, diduga juga berperan pada terjadinya GNAPS. Sreptokinase mempunyai kemampuan merubah plaminogen menjadi plasmin. Plasmin ini diduga dapat mengaktifkan sistem komplemen sehingga terjadi cascade dari sistem komplemen. Pada pemeriksaan imunofluoresen dapat ditemukan endapan dari C3 pada glomerulus, sedang protein M yang terdapat pada permukaan molekul, dapat menahan terjadinya proses fagosistosis dan meningkatkan virulensi kuman. Protein M terikat pada antigen yang terdapat pada basal membran dan IgG antibodi yang terdapat dalam sirkulasi.


Gambar 2. Patofisiologi Kerusakan Ginjal

Pada GNAPS, sistem imunitas humoral diduga berperan dengan ditemukannya endapan C3 dan IgG pada subepitelial basal membran. Rendahnya komplemen C3 dan C5, serta normalnya komplemen pada jalur klasik merupakan indikator bahwa aktifasi komplemen melalui jalur alternatif. Komplemen C3 yang aktif akan menarik dan mengaktifkan monosit dan neutrofil, dan menghasilkan infiltrat akibat adanya proses inflamasi dan selanjutnya terbentuk eksudat. Pada proses inflamasi ini juga dihasilkan sitokin oleh sel glomerulus yang mengalami injuri dan proliferasi dari sel mesangial.
Dari hasil penyelidikan klinis imunologis dan percobaan pada binatang menunjukkan adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab glomerulonefritis akut. Beberapa ahli mengajukan hipotesis sebagai berikut :

1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrane basalis glomerulus dan kemudian merusaknya.
2. Proses auto imun kuman streptococcus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan badan auto-imun yang merusak glomerulus.
3. Streptococcus nefritogen dengan membrane basalis glomerulus mempunyai komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membrane basalis ginjal.

Kompleks imun atau anti Glomerular Basement Membrane (GBM) antibodi yang mengendap/berlokasi pada glomeruli akan mengaktivasi komplemen jalur klasik atau alternatif dari sistem koagulasi dan mengakibatkan peradangan glomeruli, menyebabkan terjadinya :

1. Hematuria, Proteinuria, dan Silinderuria (terutama silinder eritrosit)
2. Penurunan aliran darah ginjal sehingga menyebabkan Laju Filtrasi Ginjal (LFG) juga menurun. Hal ini berakibat terjadinya oligouria dan terjadi retensi air dan garam akibat kerusakan ginjal. Hal ini akan menyebabkan terjadinya edema, hipervolemia, kongesti vaskular (hipertensi, edema paru dengan gejala sesak nafas, rhonkhi, kardiomegali), azotemia, hiperkreatinemia, asidemia, hiperkalemia, hipokalsemia, dan hiperfosfatemia semakin nyata, bila LFG sangat menurun.
3. Hipoperfusi yang menyebabkan aktivasi sistem renin-angiotensin. Angiotensin 2 yang bersifat vasokonstriktor perifer akan meningkat jumlahnya dan menyebabkan perfusi ginjal semakin menurun. Selain itu, LFG juga makin menurun disamping timbulnya hipertensi.
Angiotensin 2 yang meningkat ini akan merangsang kortek adrenal untuk melepaskan aldosteron yang menyebabkan retensi air dan garam ginjal dan akhirnya terjadi hipervolemia dan hipertensi.



Bentuk Klinik
1. SNA dengan hipokomplemenemia, dapat asimtomatik atau simtomatik, termasuk kelompok ini adalah :
a. Glomerulonefritis Akut pasca infeksi streptokokus.
b. Glomerulonefritis yang berhubungan dengan infeksi sistemik, seperti :
i. Endokarditis bakterialis akut / subakut
ii. Shunt nefritis
c. Glomerulonefritis proliferatif membranosa
d. Nefritis yang berhubungan dengan Lupus Eritematosus Sistemik (Nefritis Lupus)

2. SNA dengan normokomplemenemia (dapat asimtomatik atau simtomatik). Termasuk kelompok ini adalah :
a. Nefritis yang berhubungan dengan PHS (Purpura Henoch-Schonlein)
b. Nefropati IgA

Gejala Klinik
SNA sering terjadi pada anak laki-laki usia 2-14 tahun, gejala yang pertama kali muncul adalah penimbunan cairan disertai pembengkakan jaringan (edema) di sekitar wajah dan kelopak mata (infeksi post streptokokal). Pada awalnya edema timbul sebagai pembengkakan di wajah dan kelopak mata, tetapi selanjutnya lebih dominan di tungkai dan bisa menjadi hebat. Berkurangnya volume air kemih dan air kemih berwarna gelap karena mengandung darah, tekanan darah bisa meningkat. Gejala tidak spesifik seperti letargi, demam, nyeri abdomen, dan malaise. Gejalanya :
- Hematuria baik secara makroskopik maupun mikroskopik. Gross hematuria 30% ditemukan pada anak-anak.
- Oliguria
- Edema (perifer atau periorbital), 85% ditemukan pada anak-anak ; edema bisa ditemukan sedang sampai berat.
- Sakit kepala, jika disertai dengan hipertensi.
- Dyspnea, jika terjadi gagal jantung atau edema pulmo; biasanya jarang.
- Flank pain
- Kadang disertai dengan gejala spesifik ; mual dan muntah, purpura pada Henoch- Schoenlein, artralgia yang berbuhungan dengan systemic lupus erythematosus (SLE).

Pemeriksaan Fisik :
Pada pasien dengan SNA, pemeriksaan fisik dan tekanan darah kadang dalam batas normal; tetapi kebanyakan pada pemeriksaan ditemukan adanya edema, hipertensi, dan oliguria.
- Edema sering pada daerah muka, terutama daerah periorbital
- Hipertensi sering ditemukan pada 80% kasus SNA
- Hematuria, baik pada pemeriksaan makroskopik atau mikroskopik
- Skin rash
- Kelainan neurologis ditemukan pada kasus hipertensi malignant atau hipertensi encepalopaty.
- Artritis
- Tanda-tanda lain :
-Faringitis
-Impetigo
-ISPA
-Murmur (menunjukan adanya endokarditis)
-Nyeri perut
-Kenaikan berat badan
-Purpura palpebra pada pasien dengan Henoch Schoenlein purpura

Pemeriksaan Penunjang :
Laboratorium
· Darah Lengkap
o Hemoglobin bisa menurun karena hemodilusi
o Adanya pleocitosis jika disebabkan oleh infeksi
· Elektrolit, BUN dan kreatinin ( untuk mengetahui fungsi filtrasi glomerolus): BUN dan kreatinin akan menunjukan kompresi ginjal.
· Urinalisa
o Urin gelap
o Berat jenis urin lebih dari 1020 osm
o Eritrosit ditemukan dalam urin
o Proteinuria
o Silinderuria
Gambar 3. Gross Hematuria (kiri), urin tampak seperti air cucian daging
Gambar 4. Silinder Leukosit
Gambar 5. Silinder Eritrosit
Gambar 6. Silinder Granular (Protein)
Gambar 7. Silinder Lemak
· Test Streptozyme ; dengan menggunakan banyak antigen streptokokus yang sensitif untuk screening tetapi tidak secara kuantitatif.
· ASTO (anti streptolysin type O), Secara kuantitatif titer meningkat pada 60-80% pasien SNA (>dari 100 kesatuan Todd)
o Mulai meningkat pada 1-3 minggu pertama, mencapai puncak pada 3-5 minggu berikutnya, dan kembali normal pada minggu ke 6
o Anti streptolysin type O (ASTO) tidak berhubungan dengan berat, lama dan prognosis dari penyakit ginjal
o Peningkatan titer anti streptolision O (ASTO) dapat menyatakan adanya antibodi terhadap organisme streptokokus.
· Komplemen (C1, C3, C4 dan CH50); pada GNAPS C3 menurun < 50 mg/dl.
· Antibodi DN-ase B meningkat
· Sedimen eritrosit biasanya meningkat
· Kreatinin plasma atau urin lebih dari 40 µg/dL
· Kultur darah :
o Pada pasien dengan demam, imunosupresi, ada riwayat penggunaan obat IV, kateter.
o Pada kultur darah bisa ditemukan hipertriglyceridemia, penurunan laju filtrasi glomerolus, atau anemia.

Pencitraan
· Radiografi :
o Foto thorak diperlukan pada pasien dengan batuk, dengan atau tanpa hemoptysis.
o Foto abdomen diperlukan pada suspek abses viseral, atau abses dada.
· Echocardiografi pada pasien dengan murmur, atau positif adanya endokarditis pada kultur darah atau efusi perikardial.
· Ultrasonografi ginjal untuk mengevaluasi ukuran ginjal, untuk mengetahui adanya fibrosis. Ukuran ginjal kurang dari 9 cm menandakan adanya luka dan kemungkinan kecil untuk kembali seperti semula.

Diagnosis
Dasar Diagnosis :
1. SNA hipokomplemenemia :
a. Hematuria (makroskopik atau mikroskopik), proteinuria, silinderuria (terutama silinder eritrosit) dengan atau tanpa edema, hipertensi, oligouria yang timbul secara mendadak disertai merendahnya kadar sejumlah komplemen.
b. SNA hipokomplemenemia asimtomatik
Hanya menunjukan kelainan urinalisis minimal (hematuria mikrokopik, silinder eritrosit, proteinuria trace atau +1) tanpa gejala lain.
c. SNA dengan hipokomplemenemia simtomatik
Adanya kelainan urinalisis yang nyata dengan gejala-gejala.

2. SNA dengan normokomplemenemia
Adanya gejala-gejala nefritis akut dengan kadar komplemen normal.

Diagnosis Banding
o Hematuria idiopatik
o Nefropati IgA
o Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut
o Nefritis herediter
o Sistemik Lupus Eritematosus
o Henoch-Scholein Purpura

Langkah Diagnostik
Cari penyebab dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang :
1. Penyebab SNA dengan hipokomplemenemia :
a. GNAPS
Dicurigai sebagai penyebab SNA tanpa gejala bila pada anamnesis dijumpai riwayat kontak dengan keluarga yang menderita GNAPS (pada suatu epidemi). Kelainan urinalisis minimal. ASTO > 200 IU. Titer C3 rendah (80mg/dL). Dicurigai sebagai penyebab SNA dengan gejala bila ditemukan riwayat ISPA atau infeksi UTI seperti cucian daging, dengan atau tanpa disertai oligouria. Sembab pada muka sewaktu bangun tidur, kadang-kadang ada keluhan sakit kepala.
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai adanya edema, hipertensi, kadang-kadang gejala kongestif vaskuler (sesak, edema paru, kardiomegali), atau gejala-gejala gabungan sistem saraf pusat (penglihatan kabur, kejang, penurunan kesadaran). Hasil urinalisis menunjukan hematuria, proteinuria (2+), silinderuria. Gambaran kimia darah menunjukan kadar BUN, kreatinin serum, dapat normal atau meningkat; Elektrolit darah (Na, K, Ca, P, Cl) dapat normal atau sedikit rendah; Kadar Globulin biasanya normal.
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan biakan apusan tenggorok / keropeng kulit positif untuk kuman Streptococcus Beta Hemolyticus atau ASTO > 200 IU. Hematuria, proteinuria, dan silinderuria. Kadar CH50 dan C3 rendah (<80 mg/dL), yang pada evaluasi lebih lanjut menjadi normal. Sekitar 6-8 minggu dari onset penyakit, kadar C4 biasanya normal.
Gambar 8. Pada biopsi ginjal didapatkan adanya proliferasi sel mesangial.

b. Endokarditis bakterialis subakut
Dicurigai sebagai penyebab SNA bila pada anamnesis didapatkan riwayat panas lama, adanya penyakit jantung kongenital / didapat yang diikuti oleh kemih berwarna seperti coca cola (hematuria makroskopik). Pada pemeriksaan fisik ditemukan panas, rash, sesak, kardiomegali, takikardia, suara bising jantung, hepatosplenomegali, artritis, hipertensi jarang dijumpai.
Pada urinalisis, dapat ditemukan hematuria, proteinuria, atau kelainan pada sedimen urine, berupa hematuria mikroskopik, lekosituria, silinderuria. Fungsi ginjal lazimnya mengalami gangguan (BUN dan kreatinin serum). Gambaran darah tepi berupa leukositosis. LED meningkat. CRP (+), titer komplemen C3 dan C4 menurun, kadang-kadang ditemukan pula peningkatan titer faktor reumatoid, kompleks imun dan krioglobulin dalam serum. Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan di atas disertai kultur darah (+) terhadap kuman penyebab infeksi dan pada ekokardiografi dijumpai vegetasi pada katup jantung.

c. Shunt Nephritis
Diagnosis dibuat berdasarkan adanya riwayat pemasangan shunt atrio-ventrikulo-atrial / peritoneal untuk penanggulangan hidrosefalus, panas lama, muntah, sakit kepala, gangguan penglihatan, kejang-kejang, penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan fisik dijumpai hidrosefalus dengan shunt yang terpasang, suhu tubuh meninggi, hipertensi, edema, kadang-kadang dengan asites dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Urinalisis menunjukkan hematuria, proteinuria, silinderuria, fungsi ginjal biasanya terganggu. Kadar total protein dan albumin serum biasanya rendah. Kultur yang diperoleh dari shunt yang terinfeksi (+).

d. Lupus Eritematosus Sistemik (LES)
Diagnosis SLE ditegakkan berdasarkan :
Keluhan yang dijumpai pada anamnesis dapat berupa : panas lama, berat badan turun, anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, depresi, psikosis, kejang, sakit sendi, ruam pada kulit.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan : Alopesia, butterfly rash, discoid lupus photosensitivity, ulkus pada mulut / nasofaring, pleuritis, perikarditis, hepatitis, nyeri abdomen, asites, splenomegali.
Pemeriksaan laboratorium :
Darah tepi : Anemia normositik normokrom, retikulositosis, trombositopenia, leukopenia, waktu protrombin / waktu tromboplastin partial biasanya memanjang. Imunoserologis : Uji Coomb (+), Sel LE (+).
Diagnosis dari nefritis lupus ditegakkan berdasarkan kelainan diatas, dengan gambaran biopsi ginjal, mulai dari yang ringan berupa GN proliferatif fokal ringan sampai yang berat berupa proliferatif difusa.

Gambar 9. Pada histopatologi terdapat gambaran bentuk bulan sabit pada sebelah dalam kapsula Bowman dan terdiri dari : sel-sel epitel kapsul yang berproliferasi, fibrin, bahan seperti membrana basalis, serta makrofag. Rangsangan untuk pembentukan bulan sabit diduga adalah endapan fibrin dalam ruang Bowman, sebagai akibat nekrosis / gangguan dinding kapiler glomerolus.




2. Penyebab SNA dengan normokomplemenemia :
a. Purpura Henoch-Schonlein (PHS)
Diagnosa PHS sebagai peyebab SNA ditegakkan berdasarkan riwayat ruam pada kulit, sakit sendi dan gangguan gastrointestinal (mual, muntah, nyeri abdomen, diare berdarah atau melena) dan serangan hematuria.
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai edema, hipertensi, ruam pada daerah bokong, bagian ekstensor dan ekstremitas bawah, athralgia/arthritis, nyeri abdomen. Pada urinalisis dijumpai hematuria, proteinuria, dan silinderuria. BUN dan kreatinin serum dapat normal atau meningkat tergantung dari beratnya kerusakan ginjal. Pada kerusakan ginjal berat dapat terjadi penurunan fungsi ginjal yang progresif yang ditunjukkan dengan meningkatnya kadar ureum dan kreatinin serum. Kadar protein total, albumin, kolesterol, dapat normal, atau menyerupai gambaran sindroma nefrotik. ASTO biasanya normal sedang kadar C3 dan C4 tidak merendah. Uji anti nuclear antibodies negatif. Trombosit, waktu protrombin, dan tromboplastin normal. Pada PHS dengan kelainan ginjal berat, biopsi ginjal perlu dilakukan untuk melihat morfologi dari glomeruli, pengobatan dan untuk keperluan prognosis.

Gambar 10. Penderita PHS

b. Nefropati IgA
Kecurigaan kearah nefropati IgA pada seorang anak dibuat bila timbulnya serangan hematuria makroskopik secara akut dipicu oleh suatu episode panas yang berhubungan dengan ISPA. Hematuria makroskopik biasanya bersifat sementara dan menghilang bila ISPA mereda, namun akan berulang kembali bila penderita mengalami panas yang berkaitan dengan ISPA. Diantara 2 episode, biasanya penderita tidak menunjukkan gejala, kecuali hematuria mikroskopik dengan proteinuria ringan masih ditemukan pada urinalisis. Edema, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal biasanya tidak ditemukan. Kadar IgA serum biasanya meningkat pada 10-20% dari jumlah kasus yang telah dilaporkan, kadar komplemen (C3 dan C4) dalam serum biasanya normal. Diagnosis pasti biasanya dibuat berdasarkan biopsi ginjal.

Gambar 11. (Kiri) Gambaran fluoresen dari deposit IgA di sel Mesangial. (Kanan) Deposit IgA dengan pewarnaan PAS.

Penatalaksanaan
Semua SNA simtomatik perlu mendapat perawatan. Pengobatan ditujukan terhadap penyakit yang mendasarinya dan komplikasi yang ditimbulkannya.1
· Tindakan umum :
Istirahat di tempat tidur sampai gejala edema dan kongesti vaskuler (dispneu, edema paru, kardiomegali, hipertensi) menghilang.
· Diit :
Masukan garam (0,5-1 gr/hari) dan cairan dibatasi selama edema, oligouria atau gejala vaskuler dijumpai. Protein dibatasi (0,5/KgBB/hari) bila kadar ureum diatas 50 gr/dL.
· Pengobatan terhadap penyakit penyebab :
1. GNAPS tanpa komplikasi berat :1
· Diuretika
Untuk penanggulangan edema dan hipertensi ringan disamping diit rendah garam, diberikan furosemide (1-2) mg/KgBB/hari oral dibagi atas 2 dosis sampai edema dan tekanan darah turun.
· Antihipertensif
Bila hipertensi dalam derajat sedang samapi berat disamping pemberian diuretika ditambahkan obat antihipertensif oral (propranolol atau kaptopril).
· Antibiotika
Penisilin Prokain (PP) 50.000 U/KgBB/hari atau eritromisin oral 50 mg/KgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari untuk eradikasi kuman.

2. GNAPS dengan komplikasi berat :
· Kongesti vaskuler (edema paru, kardiomegali, hipertensi)
o Pemberian oksigen
o Diuretika furosemide parenteral (1-2 mg/KgBB/kali)
o Antihipertensif oral (kaptopril 0,3 mg/KgBB/kali 2-3 kali pemberian/hari)
o Bila disertai gagal jantung kongestif yang nyata dapat dipertimbangkan pemberian digitalis
· Gagal Ginjal Akut
o Ensefalopati hipertensif
Labetalol (Normodyne)2
Dosis dewasa ; 20mg IV microdrip labetalol hydrochloride injeksi perlahan selama 2 menit
Dosis anak ; dosis yang disarankan 0.4 -1mg/kg/jam IV; tidak lebih dari 3 gr
o Glomerulonefritis progresif cepat (GN kresentik) : merupakan bentuk GNAPS berat yang ditandai serangan hematuria makroskopik, perburukan fungsi ginjal yang berlangsung cepat dan progresif, dan pada biopsi ginjal dijumpai gambaran glomerular crescents.
o Disamping penanggulangan hipertensi dan gagal ginjal diberikan pula pulse methylprednisolone :
Ø 15 mg/KgBB metil prednisolone (tidak boleh melebihi 1 gram) perinfus sekitar 60-90 menit setiap hari selama 5-6 hari. Perlu dipantau : TTV dan kadar elektrolit.
Ø Lanjutkan dengan metilprednisolon oral 2 mg/KgBB/hari selama 1 bulan.
Ø Lalu dosis prednisolone diberikan secara alternate 2 mg/KgBB/2 hari selama 1 bulan, kemudian dilanjutkan separo dosis dengan interval 1 bulan, setelah itu diberikan 0,2 mg/Kg/2 hari selama 1 bulan, lalu obat dihentikan.
o Tindak lanjut :
Ø Timbang berat badan 2 kali seminggu
Ø Ukur masukan cairan dan diuresis setiap hari
Ø Ukur tekanan darah 3 kali sehari selama hipertensi masih ada, kemudian 1 kali sehari bila tekanan darah sudah normal.
Ø Pemeriksaan darah tepi dilakukan pada saat penderita mulai dirawat, diulangi 1 kali seminggu atau saat penderita mau dipulangkan. Urinalisis minimal 2 kali seminggu selama perawatan. Perlu dilakukan biakan urine untuk mencari kemungkinan adanya ISK. Bila ditemukan, diobati sesuai dengan hasil sensitifitas.
Ø Kimia darah saat dirawat dan waktu dipulangkan. Pada penderita dengan komplikasi berat pemeriksaan kimia darah, terutama ureum/kreatinin dan elektrolit lebih sering dilakukan. Pemeriksaan EKG perlu dilakukan secara serial, sedang foto toraks diulangi bila gejala-gejala kongesti vaskuler sudah menghilang atau pada saat penderita mau dipulangkan. Pemeriksaan funduskopi secara serial perlu dilakukan bila penderita datang dengan hipertensi berat atau dengan gejala ensefalopati.
Ø Biopsi ginjal dilakukan berdasarkan indikasi terjadinya perburukan faal ginjal secara cepat dan progresif.
o Idikasi Pulang :
Ø Keadaan penderita baik, gejala-gejala SNA menghilang.
Ø Pengamatan lebih lanjut perlu dilakukan di poli khusus ginjal anak minimal 1 kali 1 bulan selama 1 tahun. Bila pada pengamatan ASTO (+) dan C3 masih rendah setelah 8 minggu dari onset, proteinuria masih + setelah 6 bulan dan hematuria mikroskopik masih dijumpai setelah 1 tahun, atau fungsi ginjal menurun secara insidius progresif dalam waktu beberapa minggu atau bulan kemungkinan penyakit jadi kronik, perlu dilakukan biopsi ginjal.

3. Endokarditis bakterialis akut/subakut :
· Pengobatan ditujukan terhadap endokarditis dan penyakit yang ditimbulkannya.

4. Shunt Nephritis :
· Pengobatan ditujukan terhadap kuman penyebab dan mengangkat shunt yang terinfeksi terhadap komplikasi dari shunt nephritis.
o AB diberikan sesuai dengan tes sensitivitas
o Atasi gejala yang berkaitan dengan peningkatan tekanan intra kranial.
o Bila dijumpai gejala ensefalopati hipertensif atau GGA, segera diatasi.
· Indikasi Pulang :
o Keadaan anak baik, gejala-gejala dari nefritis minimal, komplikasi yang terjadi terkontrol dengan baik. Untuk evaluasi, perlu kontrol berobat jalan ke poli khusus ginjal / neurologi anak paling kurang sekali sebulan.

5. Nefritis yang berhubungan dengan Lupus Eritematosus :
· Pengobatan terdiri dari pemberian kortikosteroid (prednisolone) 2 mg/KgBB/hari dibagi 3 dosis selama 4 – 6 minggu, kemudian dosis diturunkan secara bertahap sedikit demi sedikit sampai mencapai dosis 5-10 mg/hari atau 0,1-0,2 mg/KgBB/hari. Dosis ini dipertahankan sampai 4-6 minggu. Setelah itu diberikan secara alternatif.
· Bila selama perawatan penderita menunjukan perburukan fungsi ginjal secara progresif atau dengan sindroma nefrotik diobati dengan pulse methyl prednisolone therapy, diuretika dan obat anti hipertensif.
· Indikasi pulang :
Keadaan umum baik, gejal-gejala nefritis membaik atau menunjukan kelainan minimal. Perlu kontrol berobat ke poli khusus ginjal anak.

6. Nefritis yang berhubungan dengan Purpura Henoch Schonlein :
· Steroid diberikan dalam waktu pendek untuk menghilangkan gejala nyeri perut. Penderita PHS berat (dengan manifestasi ginjal berat : NS, GGA, dan hipertensi) membutuhkan pengawasan yang ketat. Biopsi ginjal perlu dilakukan pada keadaan ini. Obat yang digunakan dalam hal ini adalah : prednisolone oral, methrylprednisolone bolus intravena, obat-obat sitostatika (siklofosfamid, azatiopin), antikoagulan, antiplatelet, dan plasmaforesis, disamping penanggulangan GGA dan hipertensi.
· Tindak lanjut :
o Semua pasien dengan HSP yang dirawat perlu dilakukan pengamatan terhadap tekanan darah, urinalisis dan faal ginjal. Bila selama dalam perawatan dijumpai hipertensi dan perburukan faal ginjal secara progresif, merupakan indikasi untuk biopsi ginjal.
· Indikasi pulang :
o Keadaan umum baik, urinalisis normal atau menunjukan kelainan minimal, tekanan darah dan fungsi ginjal normal. Dianjurkan kepada penderita untuk kontrol berobat jalan ke poli khusus ginjal anak.

7. Nefropati IgA :
· Pengobatan yang spesifik untuk nefropati : IgA asimtomatik belum ada. Pengobatan hanya berupa pemerian antibiotika bila dijumpai ISPA atau tonsilitis untuk mengurangi episode dari hematuria makroskopik.
· Tindak lanjut :
o Penderita nefropati IgA tidak perlu dirawat, namun memerlukan pemantauan terus menerus terhadap kemungkinan terjadinya hipertensi dan perburukan fungsi ginjal.

Komplikasi
· Fase Akut :
o Gagal Ginjal Akut
Perkembangan kearah sklerosis jarang, bagaimanapun juga pada 0.5%- 2% pasien dengan Glomerulonefritis Akut tahap perkembangan kearah gagal ginjal periodenya cepat.
o Komplikasi lain, yang berhubungan dengan kerusakan organ pada sistem saraf pusat dan kardiopulmo, bisa berkembang dengan pasien hipertensi berat, encephalopati, dan pulmonary edema. Komplikasinya antara lain :
§ Retinopati hipertensi
§ Encephalopati hipertensif
§ Payah jantung karena hipertensi dan hipervolemia (volume overload)
§ Glomerulonefritis progresif

· Jangka Panjang :
o Abnormalitas urinalisis (microhematuria) selama setahun
o Gagal ginjal kronik
o Sindrom nefrotik

Prognosis
Sebagian besar penderita (>95 %) mengalami penyembuhan yang sempurna, tetapi 5% diantaranya mengalami perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat. Diuresis akan menjadi normal kembali pada hari ke 7-10 setelah awal penyakit dengan menghilangnya sembab dan secara bertahap tekanan darah menjadi normal kembali.

Fungsi ginjal (ureum dan kreatinin) membaik dalam 1 minggu dan menjadi normal dalam waktu 3-4 minggu. Potter dan kawan-kawan menemukan kelainan sediment urine yang menetap (proteinuria dan hematuria) pada 3,5% dari 534 pasien yang diikuti selama 12-17 tahun di Trinidad.Gejala fisis menghilang dalam minggu ke 2 atau ke 3, kimia darah menjadi normal pada minggu ke 2 dan hematuria mikroskopik atau makroskopik dapat menetap selama 4-6 minggu. LED meninggi terus sampai kira-kira 3 bulan, protein sedikit dalam urine dan dapat menetap untuk beberapa bulan.

Eksaserbasi kadang-kadang terjadi akibat infeksi akut selama fase penyembuhan, tetapi umumnya tidak mengubah proses penyakitnya. Penderita yang tetap menunjukkan kelainan urine selama 1 tahun dianggap menderita penyakit glomerulonefritis kronik, walaupun dapat terjadi penyembuhan sempurna. LED digunakan untuk mengukur progresivitas penyakit ini, karena umumnya tetap tinggi pada kasus-kasus yang menjadi kronis. Diperkirakan 95 % akan sembuh sempurna, 2% meninggal selama fase akut dari penyakit ini dan 2% menjadi glomerulonefritis kronis.

1. SNA dengan hipokomplemenemia tergantung pada penyebabnya :
a. GNAPS. Prognosis baik, 95% sembuh sempurna, 3% meninggal karena komplikasi, 2% berkembang menjadi GGK.
b. Nefritis yang berhubungan dengan endokarditis bakterialis akut/subakut. Prognosis baik bila pengobatan terhadap penyebab dilakukan secara intensif dengan antibiotika yang cocok dan kadar komplemen kembali normal. Bila pengobatan terlambat, dapat terjadi gagal ginjal.
c. Shunt Nephritis. Prognosis umumnya baik, 50% dari kasus dilaporkan sembuh, bila shunt yang mengalami infeksi segera diangkat dan antibiotika yang cocok segera diberikan, 20% meninggal disebabkan oleh penyakit neurologik primer, atau komplikasi pembedahan, sisanya dengan gejala sisa berupa gangguan faal ginjal, hematuria dan proteinuria.
d. Nefritis Lupus Eritematosus Sistemik (NEFLES). Prognosis berkorelasi dengan presentasi klinik saat serangan dan kelainan histologi dari glomeruli. Penderita NEFLES dengan kelainan minimal, tanpa gagal ginjal, dan gambaran glomeruli normal atau proliferatif mesangial ringan biasanya prognosis baik. Penderita dengan nefritis berat (urine nefritik, hipertensi dan gagal ginjal) dengan kelainan glomeruli proliferasi difus memiliki prognosis buruk. Prognosis lebih buruk lagi bila terjadi pula sindroma nefritik-nefrotik, gagal ginjal berat dengan gambaran biopsi ginjal berupa GN proliferatif difus dengan bulan sabit.

2. SNA dengan normokomplemenemia :
a. Nefritis Henoch Schonlein (NHS)
Prognosis bergantung pada berat dan luasnya keterlibatan ginjal saat serangan penyakit. Pada anak dengan hematuria dengan/tanpa proteinuria ringan, prognosis baik, dimana kelainan yang dijumpai pada pemeriksaan urinalisis akan menghilang sekitar 2-4 bulan, meskipun pengamatan jangka panjang menunjukan 5-10% dari penderita timbul gagal ginjal kronik.
Penderita dengan gambaran SNA dengan sindroma nefrotik saat serangan, kelainan urinalisis terus berlanjut, atau berkembang menjadi gagal ginjal kronik stadium lanjut. Setengahnya dapat terjadi GGK dalam beberapa bulan pertama dari onset, setengahnya lagi dapat terjadi GGK pada sekitar 5 sampai 15 tahun pengamatan. Indikator buruknya prognosis meliputi : dijumpainya sindroma nefrotik, hipertensi, gagal ginjal saat serangan dan terdapatnya gambaran Glomerular Crescents (bulan sabit) pada biopsi ginjal.

b. Nefritis IgA
Prognosis umumnya baik. Pada pengamatan dalam jangka waktu yang singkat tidak pernah dijumpai terjadinya gagal ginjal progresif, meskipun kelainan urine, termasuk hematuria berulang biasanya menetap. Pada pengamatan jangka panjang yang dilakukan dari 1 sampai 15 tahun, angka kejadian gagal ginjal kronik dijumpai antara 5-9%, dikaitkan dengan dijumpainya gambaran Glomerular Crescents pada biopsi ginjal.










BAB III
KESIMPULAN
· Sindrom Nefritis Akut (SNA) / Glomerulonefritis Akut (GNA) adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gejala hematuria, hipertensi, edema, dan berbagai derajat insufisiensi ginjal.
· SNA disebabkan oleh faktor infeksi (paling sering diakibatkan oleh glomerulonefritis akut pasca streptokokus), penyakit multisistemik (vaskulitis, SLE, Henoch-Schonlein Purpura,dll), penyakit ginjal lain dan Nefropati IgA.
· Penyakit ini timbul setelah adanya infeksi oleh kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A disaluran pernafasan bagian atas atau pada kulit, sehingga pencegahan dan pengobatan infeksi saluran pernafasan atas dan kulit dapat menurunkan kejadian penyakit ini. Dengan perbaikan kesehatan masyarakat, maka kejadian penyakit ini dapat dikurangi.
· Gejala : edema di wajah terutama kelopak mata, tetapi selanjutnya lebih dominan di tungkai dan bisa menjadi hebat, berkurangnya volume air kemih dan air kemih berwarna gelap karena mengandung darah, tekanan darah bisa meningkat. Gejala tidak spesifik seperti letargi, demam, nyeri abdomen, dan malaise.
· Pemeriksaan penunjang :
o Laboratorium : Darah lengkap, Urinalisa, ASTO meningkat, antibodi Dn-ase meningkat, C3 menurun, elektrolit, BUN, kreatinin
o Radiografi : foto thorax, EKG, USG ginjal
· Dasar Diagnosis
o SNA hipokomplemenemia : Hematuria (makroskopik atau mikroskopik), proteinuria, silinderuria terutama silinder eritrosit, dengan atau tanpa edema, hipertensi, oliguria yang timbul secara mendadak disertai merendahnya kadar sejumlah komplemen.
o SNA dengan normokomplementemia : Gejala-gejala nefritis akut dengan kadar komplemen normal.
· Terapi :
o Umum : Istirahat di tempat tidur pada fase akut, misalnya bila terdapat GGA, hipertensi berat, payah jantung.
o Diet rendah garam dan rendah protein jika bila kadar ureum di atas 50 gram/dl
o Diuretik untuk edema dan hipertensi ringan, antihipertensi untuk hipertensi sedang- berat, Antibiotik ; Penisilin prokain 50.000 U/kgBB/kali i.m. 2 x/hari,atau Penisilin V 50 mg /kgBB/hari p.o. dibagi dalam 3 dosis untuk infeksi aktif. Untuk anak-anak <12 tahun : 40mg /kgBB/hari p.o dibagi 4 dosis. Apabila hipersensitif terhadap penisilin bisa diberikan eritromisin 50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis, selama 10 hari.
· Prognosis diperkirakan > 95 % akan sembuh sempurna, tetapi 5% diantaranya mengalami perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat.








Pengobatan Sindrom Nefritis berat :

Sindroma Nefrotik yang berkembang dengan cepat (Glomerulonefritis yang berkembang dengan cepat) adalah suatu penyakit yang jarang terjadi, dimana sebagian besar glomeruli mengalami kerusakan parsial sehingga terjadi gagal ginjal yang berat disertai proteinuria (protein dalam air kemih), hematuria (darah dalam air kemih) dan gumpalan Sel Darah Merah dalam air kemih.

Jika hasil biopsi menunjukan bahwa penyakitnya berat, maka segera dimulai pemberian obat.

Kortikosteroid dosis tinggi biasanya diberikan secara intravena selama 1 minggu dan selanjutnya diberikan per oral.
· Dosis : 15 mg/KgBB metilprednisolone (tidak boleh melebihi 1 gram) perinfus sekitar 60-90 menit setiap hari selama 5-6 hari. Perlu dipantau : TTV dan kadar elektrolit. Lanjutkan dengan metilprednisolon oral 2 mg/KgBB/hari selama 1 bulan. Lalu dosis prednisolone diberikan secara alternate 2 mg/KgBB/2 hari selama 1 bulan, kemudian dilanjutkan separuh dosis dengan interval 1 bulan, setelah itu diberikan 0,2 mg/Kg/2 hari selama 1 bulan, lalu obat dihentikan.

Bisa juga diberikan Obat Sitostatik yang bersifat imunusupresan (Obat untuk menekan aktivitas sistem kekebalan).

· Siklofosfamid
o Secara umum, siklofosfamid mengurangi respon imun humoral dan meningkatkan respon imun seluler. Siklofosfamid, selain pada bedah cangkok juga digunakan pada artritis reumatoid, sindrom nefrotik (terutama pada anak), dan granulomatosis Wegener.

o Siklofosfamid mempertahankan remisi yang lebih lama dibandingkan dengan kortikosteroid dengan dosis : 2 – 3 mg/KgBB/hari selama 8 minggu. Alternatif : Siklofosfamid 2 mg/KgBB/hari ditambah 30 mg prednisolon tiap 2 hari selama beberapa bulan (maks 6 bulan).
o Efek samping : Depresi sum sum tulang; leukopenia berat terjadi pada hari ke 10-12 setelah pengobatan dan pemulihan pada hari 17-21; Sistitis hemoragik (20% pada anak); alopesia yang bersifat reversible; anoreksia; mual dan muntah; amenorea; infertilitas bila diberikan > 6 bulan; stomatitis; hiperpigmentasi kulit; enterokolitis; ikterus; hipoprotrombinemia; miokarditis pada pemberian dosis tinggi (100 mg/KgBB); bersifat teratogenik.

· Siklosporin A
o Siklosporin A dapat dicoba pada pasien yang relaps setelah diberi siklofosfamid atau untuk memperpanjang masa remisi setelah pemberian kortikosteroid.
o Dosis : 3 – 5 mg/KgBB/hari selama 6 bulan sampai 1 tahun (setelah 6 bulan dosis diturunkan 25% setiap 2 bulan).
o Siklosporin A dapat juga digunakan dalam kombinasi dengan prednisolon pada kasus Sindrom Nefritis yang gagal.
o Efek samping : obat ini tidak menekan sum sum tulang; hiperplasia ginggival; hipertrikosis; hiperurisemia; hipertensi; nefrotoksik.

Selain itu, bisa dilakukan tindakan plasma feresis, yaitu suatu prosedur untuk membuang antibodi dari darah penderita.

Jika penyakit berkembang lebih lanjut, maka satu-satunya pengobatan yang efektif adalah dengan dialisa. Dialisa dilakukan bila terdapat komplikasi berupa adanya tanda Gagal Ginjal :

(140 – Umur) x Berat Badan
LFG (ml/menit/1.73 m2) =
72 x Kreatinin Plasma (mg/dL)Rumus menghitung Laju Filtrasi Glomerolus dengan rumus Kockcroft-Gault :



Tabel 1 : stadium gagal ginjal berdasarkan GFR :
STADIUM DARI GAGAL GINJAL
Stadium
Deskripsi
GFR


(mL/mnt/1.73 m2)
1
Kerusakan Ginjal dengan
≥ 90

GFR Normal atau ↑

2
Kerusakan Ginjal dengan
60-89

↓ GFR ringan

3
Kerusakan Ginjal dengan
30-59

↓ GFR sedang

4
Kerusakan Ginjal dengan
15-29

↓ GFR berat

5
Gagal Ginjal
<15 atau dialisis












Indikasi dilakukannya dialisis :
1. Adanya penurunan laju filtrasi ginjal (<15 ml/mnt)
2. Adanya peningkatan kadar ureum di atas 200 µ/dL
3. Kadar kreatinin mendekati 10 mg/dL
4. Adanya tanda-tanda berupa overload cairan yaitu: edema, sesak napas akibat edema paru, serta gagal jantung
5. Adanya sindrom uremia berupa mual, muntah, anoreksia
6. Adanya metabolik asidosis
7. Adanya hiperkalemia, hiperkalsemia


Ada dua tipe utama :
¶ Hemodialisis
¶ Peritoneal Dialisis



Indikasi spesifik untuk Peritoneal Dialisis :
1. Pasien dengan ketidakstabilan sistem kardiovaskular / hemodinamik.
2. Pasien dengan gangguan vaskuler (pada pasien diabet)
3. Resiko tinggi dengan penggunaan anti koagulasi
4. Pasien usia > 65 tahun atau pada anak-anak
5. Masalah sosial






Pilihan lainnya adalah dengan pencangkokan ginjal, meskipun penyakit ini juga bisa menyerang ginjal yang di cangkokan.


Prognosis :
Prognosis tergantung kepada beratnya gejala. Jika tidak menjalani dialisa, penderita yang mengalami gagal ginjal akan meninggal dalam waktu beberapa minggu. Prognosis juga bergantung kepada penyebab dan usia penderita. Jika penyebabnya adalah penyakit autoimun, maka biasanya pengobatan akan mampu memperbaiki keadaan penderita. Jika penyebabnya tidak diketahui / usia penderita telah lanjut, maka prognosisnya lebih buruk. Sebagian besar penderita yang tidak menjalani pengobatan akan menderita gagal ginjal dalam waktu 2 tahun.

07.21 Edit This 0 Comments »
STROKE

What is Stroke?
Is there any treatment?
What is the prognosis?
What research is being done?
Clinical TrialsOrganizations

What is Stroke?

A stroke occurs when the blood supply to part of the brain is suddenly interrupted or when a blood vessel in the brain bursts, spilling blood into the spaces surrounding brain cells. Brain cells die when they no longer receive oxygen and nutrients from the blood or there is sudden bleeding into or around the brain. The symptoms of a stroke include sudden numbness or weakness, especially on one side of the body; sudden confusion or trouble speaking or understanding speech; sudden trouble seeing in one or both eyes; sudden trouble with walking, dizziness, or loss of balance or coordination; or sudden severe headache with no known cause. There are two forms of stroke: ischemic - blockage of a blood vessel supplying the brain, and hemorrhagic - bleeding into or around the brain.

Is there any treatment?

Generally there are three treatment stages for stroke: prevention, therapy immediately after the stroke, and post-stroke rehabilitation. Therapies to prevent a first or recurrent stroke are based on treating an individual's underlying risk factors for stroke, such as hypertension, atrial fibrillation, and diabetes. Acute stroke therapies try to stop a stroke while it is happening by quickly dissolving the blood clot causing an ischemic stroke or by stopping the bleeding of a hemorrhagic stroke. Post-stroke rehabilitation helps individuals overcome disabilities that result from stroke damage. Medication or drug therapy is the most common treatment for stroke. The most popular classes of drugs used to prevent or treat stroke are antithrombotics (antiplatelet agents and anticoagulants) and thrombolytics.

What is the prognosis?

Although stroke is a disease of the brain, it can affect the entire body. A common disability that results from stroke is complete paralysis on one side of the body, called hemiplegia. A related disability that is not as debilitating as paralysis is one-sided weakness or hemiparesis. Stroke may cause problems with thinking, awareness, attention, learning, judgment, and memory. Stroke survivors often have problems understanding or forming speech. A stroke can lead to emotional problems. Stroke patients may have difficulty controlling their emotions or may express inappropriate emotions. Many stroke patients experience depression. Stroke survivors may also have numbness or strange sensations. The pain is often worse in the hands and feet and is made worse by movement and temperature changes, especially cold temperatures.
Recurrent stroke is frequent; about 25 percent of people who recover from their first stroke will have another stroke within 5 years.

What research is being done?

The National Institute of Neurological Disorders and Stroke (NINDS) conducts stroke research and clinical trials at its laboratories and clinics at the National Institutes of Health (NIH), and through grants to major medical institutions across the country. Currently, NINDS researchers are studying the mechanisms of stroke risk factors and the process of brain damage that results from stroke. Basic research has also focused on the genetics of stroke and stroke risk factors. Scientists are working to develop new and better ways to help the brain repair itself to restore important functions. New advances in imaging and rehabilitation have shown that the brain can compensate for function lost as a result of stroke.